Ada yang Nanya: Kenapa Gen Z Itu Miskin?

Daftar Isi

Kenapa Gen Z Itu Miskin?
Kenapa Gen Z Itu Miskin?
Gambar Dihasilkan oleh AI

Memahami Gen Z dan Tantangan Ekonomi Sekarang

MANUTNUT.COM - Kamu pasti udah sering denger soal Gen Z, kan? Generasi yang lahir antara 1997 sampai 2012 ini identik sama gaya hidup digital, selalu update teknologi, dan sering disebut sebagai generasi yang "nggak bisa hidup tanpa internet". Tapi siapa sangka, di balik semua itu, mereka lagi menghadapi tantangan ekonomi yang nggak main-main.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di kalangan anak muda, termasuk Gen Z, masih cukup tinggi, apalagi setelah pandemi. Mau cari kerjaan aja susah, belum lagi harga-harga kebutuhan yang makin nggak masuk akal. Psikolog Tia Rahmania dari Universitas Paramadina bilang kalau tekanan ekonomi ini bikin stres mereka meningkat. Kalau dipikir-pikir, siapa yang nggak stres kalau gaji pas-pasan, tapi biaya hidup terus naik?

Ada beberapa hal seru (dan sedikit bikin sedih) soal tantangan ekonomi yang dihadapi Gen Z:

  1. Gaji Awal yang Beda Tipis Sama Uang Kos
    Waktu pertama kali kerja, banyak Gen Z yang kaget karena gaji awal sering nggak cukup buat nutup kebutuhan. Belum lagi kalau ada cicilan atau biaya kuliah yang masih harus dibayar. Alhasil, mereka cari side job, freelance, atau bahkan jualan online buat nambah penghasilan.

  2. Melek Finansial Tapi Penuh Tantangan
    Generasi ini udah sadar pentingnya nabung dan investasi sejak muda. Banyak dari mereka yang rajin pakai aplikasi budgeting atau ikut investasi kecil-kecilan. Tapi masalahnya, kebutuhan harian sering banget bentrok sama rencana keuangan jangka panjang.

  3. Teknologi Itu Berkah dan Kutukan
    Dengan teknologi, peluang kerja nggak cuma ada di satu kota atau negara. Sayangnya, persaingan juga makin kejam karena semua orang bisa ikutan. Jadi, kalau nggak punya skill yang update, bisa-bisa kalah saing sama orang lain.

Ngeliat tantangan ini, kayaknya pemerintah dan masyarakat perlu lebih perhatian, deh. Misalnya, bikin akses pendidikan lebih murah atau program pelatihan digital biar anak-anak Gen Z lebih siap. Tapi, satu hal yang bikin saya yakin, mereka ini generasi tangguh. Di tengah semua drama hidup, Gen Z selalu nemu cara buat bertahan dan beradaptasi. Kalau mereka bisa bangkit dari ini semua, masa depan pasti bakal jadi milik mereka. Gimana, setuju?

Kenapa Banyak Gen Z Masih Nganggur?

Pengangguran di kalangan Gen Z makin jadi topik hangat belakangan ini. Kalau dilihat dari data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah anak muda yang belum dapat kerja terus naik. Padahal, sebagian besar dari mereka adalah fresh graduates yang baru aja selesai kuliah. Masalahnya, sering banget ada yang namanya skill mismatch—kemampuan yang mereka punya ternyata nggak nyambung sama yang dibutuhin di pasar kerja.

Apa yang Bikin Gen Z Susah Dapat Kerja?

  1. Skill nggak nyambung
    Banyak perusahaan sekarang cari orang yang jago analisis data, bisa paham teknologi canggih, atau punya soft skill kayak komunikasi. Tapi nggak semua anak muda dapat pelatihan buat itu pas kuliah. Jadi, pas mereka lulus, ya bingung harus mulai dari mana.

  2. Saingannya gila-gilaan
    Bayangin aja, setiap ada satu lowongan, pelamarnya bisa ratusan. Jadi, kalau nggak punya nilai plus, susah banget buat menonjol di tengah kerumunan.

  3. Minim pengalaman
    Ini klise, tapi bener banget: banyak perusahaan maunya yang udah pengalaman. Nah, masalahnya, kalau belum kerja, gimana mau punya pengalaman? Rasanya kayak lingkaran setan yang nggak ada ujungnya.

Efeknya ke Kehidupan Gen Z

Karena susah cari kerja, banyak Gen Z akhirnya harus nebeng dulu sama orang tua, atau terpaksa ambil kerjaan serabutan dengan gaji kecil. Selain bikin stres soal duit, ini juga bikin mental jadi nggak stabil. Rasa frustrasi dan cemas nambah karena nggak jelas kapan situasi ini bisa beres.

Solusi? Bisa, Kalau Kita Mau Usaha

Untungnya, sekarang udah banyak langkah buat bantuin Gen Z keluar dari masalah ini.

  • Pelatihan kerja dari Kementerian Ketenagakerjaan
    Pemerintah udah mulai ngasih pelatihan vokasi buat bantu kita upgrade skill. Ada pelatihan soal teknologi, bisnis, sampai cara bikin usaha sendiri. Lumayan banget kan?

  • Cari peluang lewat perusahaan rekrutmen
    Coba deh, cek platform kayak LinkedIn atau Jobstreet. Banyak lowongan kerja yang mungkin cocok, dan biasanya perusahaan di situ lebih terbuka buat fresh graduates.

  • Jangan males belajar hal baru
    Ini nih kunci pentingnya. Ambil kursus online buat belajar skill yang lagi dibutuhin, kayak coding atau digital marketing. Banyak kok yang gratis di platform kayak Coursera atau Udemy.

Kalau aku pribadi, selalu percaya kalau peluang itu ada, asalkan kita siap ngejar. Nggak usah takut buat mulai dari nol atau ambil magang dulu. Pasar kerja memang keras, tapi kalau kita terus belajar dan nggak gampang nyerah, pasti ada jalan!

Doom Spending: Kebiasaan Boros yang Diam-Diam Merugikan

Doom spending. Dengar istilahnya saja sudah bikin penasaran, kan? Jadi gini, doom spending itu sebenarnya kebiasaan belanja impulsif gara-gara stres atau emosi nggak karuan. Bayangin aja, kamu lagi pusing soal tagihan atau takut masa depan nggak jelas, terus malah belanja buat bikin diri sendiri “senang sementara.” Masalahnya, efek senang itu nggak lama—dan ujung-ujungnya malah bikin dompet bolong. Menurut Psychology Today, ini semacam pelarian emosional, tapi dalam bentuk nambah barang di keranjang belanja. Aduh, siapa yang nggak relate?

Kok Bisa Kita Terjebak Doom Spending?

Coba deh, pernah nggak kamu abis scroll media sosial terus langsung checkout barang cuma gara-gara takut ketinggalan tren? Nah, itu salah satu biang kerok doom spending. Ylva Baeckström, ahli psikologi keuangan, bilang kalau ini sering terjadi karena kita merasa cemas tentang masa depan. Dan siapa yang nggak cemas, sih, kalau harga kebutuhan naik terus? Selain itu, kemudahan belanja online bikin semuanya tambah runyam. Tinggal klik, barang datang. Lupa kalau bayar pakai duit beneran.

Beberapa alasan kenapa doom spending jadi kebiasaan buruk:

  1. Stres ekonomi kayak inflasi yang bikin harga-harga makin mahal.
  2. Tekanan sosial media, alias FOMO akut. Lihat orang lain happy-happy, jadi pengen ikutan.
  3. Godaan diskon dan promo, kayak Harbolnas atau flash sale. Hayo ngaku!

Apa Dampaknya? Jangan Anggap Remeh!

Kebiasaan ini nggak cuma bikin saldo rekening kamu cekak. Menurut Daivik Goel, dampaknya bisa lebih jauh, kayak:

  • Utang kartu kredit yang menumpuk tanpa ujung.
  • Nggak bisa nabung atau investasi, jadi rencana masa depan berantakan.
  • Selalu merasa bersalah setelah belanja, tapi nggak belajar juga.

Aku sendiri pernah ngalamin—rasanya kayak gali lubang tutup lubang. Stres karena keuangan nggak stabil, malah bikin pengeluaran makin nggak terkendali.

Trik Keluar dari Siklus Doom Spending

Tenang, nggak ada kata terlambat buat berhenti. Ini beberapa cara yang bisa kamu coba:

  1. Kenali penyebabnya. Biasanya belanja nggak terkontrol itu muncul karena stres, bosan, atau bahkan sekadar iseng.
  2. Bikin budget. Tetapin uang belanja per bulan, termasuk untuk hal-hal seru kayak ngopi-ngopi cantik.
  3. Jauhi pemicu. Kalau sering tergoda promo, mending uninstall aplikasi belanja dulu.
  4. Alihkan perhatian. Coba olahraga, masak, atau belajar hobi baru buat ngusir stres.

Doom spending itu sebenarnya alarm kalau ada yang nggak beres, baik di diri sendiri atau kondisi sekitar. Jadi, sebelum kebiasaan ini bikin hidup makin kacau, coba pelan-pelan ubah gaya hidupmu. Lagian, bahagia tuh nggak harus lewat checkout keranjang belanja. Setuju?

Ketidakcocokan Antara Keterampilan dan Kebutuhan Pasar

Pernah nggak, denger cerita orang yang udah lulus kuliah tapi malah susah dapet kerja? Atau perusahaan yang ngeluh susah cari karyawan padahal job fair ada di mana-mana? Nah, ini gara-gara yang namanya skill gap. Ibaratnya, tenaga kerja itu punya "kunci" keterampilan, tapi pintu kebutuhan pasar sekarang udah ganti gembok. Jadinya nggak nyambung!

Masalahnya, dunia kerja sekarang bergerak kayak kereta cepat, apalagi di sektor teknologi. Banyak perusahaan butuh orang yang jago coding, paham data analysis, atau ngerti cloud computing. Sayangnya, tenaga kerja yang ada seringkali masih belajar dari kurikulum zaman dulu. Ini bikin banyak lembaga pendidikan terlihat "ketinggalan zaman" karena nggak mampu ngejar kecepatan industri modern.

Kenapa Masalah Ini Semakin Parah?

  1. Pelatihan kerja kurang nyambung. Banyak program pelatihan yang cuma teori doang, nggak nyentuh apa yang sebenarnya dibutuhin perusahaan.
  2. Kurang kerja sama antara kampus dan perusahaan. Bayangin kalau perusahaan teknologi kerja bareng universitas buat bikin kurikulum khusus. Nah, ini yang masih jarang banget terjadi.
  3. Gen Z mau kerja santai tapi dapet gaji gede. Generasi ini beda mindset. Mereka lebih milih kerja yang fleksibel dan tetap punya waktu buat hidup. Tapi kenyataannya, banyak perusahaan masih ngejalanin budaya kerja lama yang nggak sesuai ekspektasi mereka.

Jadi, Solusinya Gimana?

Sebenernya, nggak ada masalah yang nggak bisa diatasi asal semua pihak mau kerja sama. Kementerian Pendidikan bisa mulai bikin program magang yang serius dan beneran nyambung ke kebutuhan pasar. Terus:

  • Kasih akses ke pelatihan digital. Misalnya, ikut bootcamp coding online yang materinya up-to-date.
  • Ubah kurikulum pendidikan. Jangan terus-terusan ngajarin materi yang udah basi.
  • Insentif buat perusahaan. Bayangin kalau perusahaan dapet insentif buat bikin program mentor atau pelatihan internal, pasti banyak karyawan baru yang skill-nya langsung naik.

Intinya, kita nggak bisa cuma nyalahin satu pihak. Kita juga mesti adaptif. Kalau sekarang skill kamu nggak nyambung sama kebutuhan pasar, ya ayo belajar lagi! Dunia kerja itu emang kayak game, levelnya selalu naik, jadi kamu juga harus upgrade skill terus.

Stres dan Burnout di Tempat Kerja: Cegah Sebelum Terlambat!

Kalian pasti tahu kan, bagaimana rasanya terjebak di dalam rutinitas pekerjaan yang nggak ada habisnya? Stres kerja bisa datang kapan saja, terutama kalau beban kerja makin berat dan tenggat waktu terus mendekat. Burnout atau kelelahan emosional bukan hanya soal tubuh yang capek, tapi juga mental yang mulai hancur. Dan, kalau itu terjadi, kesejahteraan mental kita bisa terganggu parah.

Masalahnya, stres akibat tekanan kerja ini nggak cuma bikin kita lelah, tapi juga bisa memperburuk kondisi keuangan kita. Coba deh, kalau lagi stress banget, kadang pengen beli barang yang nggak perlu atau malah menunda bayar tagihan. Ini juga jadi masalah besar kalau kita nggak bisa mengatur work-life balance dengan baik. Beberapa perusahaan konsultan SDM sudah menyarankan buat menciptakan keseimbangan itu, karena tanpa itu, bisa-bisa kerjaan malah jadi beban buat kesehatan kita.

Penting banget untuk cari bantuan kalau stres mulai terasa mengganggu. Organisasi kesehatan mental dan psikolog bisa jadi penyelamat dalam situasi kayak gini. Banyak perusahaan yang mulai sadar akan pentingnya mendukung kesejahteraan mental karyawannya, dan mereka bahkan udah mulai menawarkan program kesejahteraan untuk mengurangi dampak negatif stres. Jadi, kalau kita merasa udah mulai kelelahan, nggak ada salahnya minta bantuan, kan?

Kalau kamu mulai merasa burnout, ada beberapa cara yang bisa dicoba untuk mengatasinya:

  1. Komunikasi dengan bos atau tim buat ngejelasin ekspektasi dan ngurangin ketegangan.
  2. Atur waktu dengan bijak biar nggak ada yang kebanyakan, ada waktu buat santai juga.
  3. Coba relaksasi, kayak meditasi atau olahraga ringan, buat nyegerin pikiran.
  4. Cari bantuan profesional, misalnya dari psikolog atau konsultan, buat nemuin cara-cara efektif mengelola stres.

Pokoknya, jangan sampai stres kerja dan burnout ini ngambil alih hidup kamu. Kesehatan mental itu nomor satu, jadi jangan ragu buat minta bantuan kalau merasa overwhelmed.

Perubahan Paradigma dalam Menyikapi Keuangan Pribadi

Dulu, keuangan pribadi sering kali terasa rumit banget, ya? Tapi, sekarang semua orang bisa belajar literasi keuangan dengan lebih mudah, berkat banyaknya platform edukasi keuangan yang ada. Gak hanya itu, banyak juga komunitas investasi yang siap bantu kita memahami lebih dalam tentang investasi, menabung, dan perencanaan keuangan. Orang-orang sekarang semakin sadar pentingnya ngatur keuangan dengan baik, supaya bisa mencapai tujuan keuangan jangka panjang, bukan cuma sekadar numpang hidup di hari itu.

Sekarang, belajar tentang keuangan gak perlu lagi harus lewat seminar formal atau buku tebal. Banyak platform edukasi keuangan yang menawarkan berbagai kursus atau video yang ngajarin kita tentang hal-hal seperti investasi dan cara bikin perencanaan keuangan yang cocok dengan kebutuhan. Jadi, literasi keuangan gak cuma buat orang-orang yang udah ahli, tapi bisa dipahami semua kalangan, bahkan mereka yang baru aja mau mulai mengatur keuangan. Ini yang jadi titik balik besar dalam cara kita berpikir soal uang.

Selain itu, lembaga keuangan sekarang juga gak ketinggalan dalam mengembangkan produk yang lebih mudah diakses dan dipahami. Coba deh, sekarang banyak aplikasi yang bisa bantu kita untuk menabung, investasi, dan atur perencanaan keuangan dengan lebih simpel. Misalnya, aplikasi buat ngatur pengeluaran bulanan yang bisa bikin kita lebih sadar dan bijak dalam belanja.

Ini dia beberapa langkah gampang yang bisa kamu coba buat ngikutin perubahan cara pandang soal keuangan pribadi:

  1. Mulai Belajar Literasi Keuangan
    Pertama-tama, coba deh pelajari hal-hal dasar tentang keuangan. Gak perlu khawatir, banyak banget sumber yang bisa kamu akses online, mulai dari menabung sampai cara berinvestasi yang simpel.

  2. Bikin Rencana Keuangan
    Atur anggaran dan tentukan tujuan keuangan, ya! Ini adalah langkah pertama supaya kita gak asal-asalan dalam ngatur uang. Pastikan ada target jangka pendek dan panjang.

  3. Berani Mulai Investasi
    Investasi bukan cuma buat orang kaya kok. Sekarang, siapapun bisa mulai berinvestasi dengan modal yang terjangkau. Lewat platform investasi yang terpercaya, kamu bisa mulai investasi di saham, reksa dana, atau bahkan properti.

  4. Join Komunitas Investasi
    Bergabung dengan komunitas investasi itu asyik banget. Selain bisa belajar dari pengalaman orang lain, kamu juga bisa berbagi strategi investasi dan belajar bareng-bareng.

  5. Cek Keuangan Secara Berkala
    Gak cukup cuma nyusun rencana, kamu juga perlu ngecek kondisi keuangan secara berkala. Apakah tabungan sudah cukup? Apakah investasi sudah mulai berkembang? Dengan evaluasi rutin, kamu bisa terus sesuaikan rencana keuangan biar tetap on track.

Dengan perubahan cara pandang ini, kita semua punya kesempatan buat mengatur keuangan pribadi dengan cara yang lebih cerdas dan pastinya lebih mudah. Berkat kemajuan di dunia lembaga keuangan dan platform edukasi keuangan, semuanya jadi lebih terjangkau dan bisa diakses oleh banyak orang. Jadi, siap buat mulai perjalanan keuangan pribadi yang lebih terencana?

Nutnut
Nutnut Nutnut, Content writer di Masnutnut.com